JANGAN
MENGIKUTI HAWA NAFSU
oleh : Ustadz Abu
Isma’il Muslim al-Atsari
Secara
bahasa, hawa nafsu adalah kecintaan terhadap sesuatu sehingga kecintaan itu
menguasai hatinya. Kecintaan tersebut sering menyeret seseorang untuk melanggar
hukum Allâh Azza wa Jalla . Oleh karena itu hawa nafsu harus ditundukkan agar
bisa tunduk terhadap syari’at Allâh Azza wa Jalla . Adapun secara istilah
syari’at, hawa nafsu adalah kecondongan jiwa terhadap sesuatu yang disukainya
sehingga keluar dari batas syari’at.
Syaikhul
Islam berkata, “Hawa nafsu asalnya adalah kecintaan jiwa dan kebenciannya.
Semata-mata hawa nafsu, yaitu kecintaan dan kebencian yang ada di dalam jiwa
tidaklah tercela. Karena terkadang hal itu tidak bisa dikuasai. Namun yang
tercela adalah mengikuti hawa nafsu, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :
يَا
دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
Hai Daud!
sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka
berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allâh.
[Shâd/38: 26] [Majmû’ Fatâwâ, 28/132]
Syaikhul
Islam rahimahullah berkata, “Seseorang yang mengikuti hawa nafsu adalah
seseorang yang mengikuti perkataan atau perbuatan yang dia sukai dan menolak
perkataan atau perbuatan yang dia benci dengan tanpa dasar petunjuk dari Allâh
Azza wa Jalla ” [Majmû’ Fatâwâ, 4/189]
HAWA NAFSU
MENGAJAK KESESATAN
Allâh Azza wa
Jalla berfirman:
وَمَا
لَكُمْ أَلَّا تَأْكُلُوا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ ۗ وَإِنَّ كَثِيرًا لَيُضِلُّونَ بِأَهْوَائِهِمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ إِنَّ
رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِالْمُعْتَدِينَ
Mengapa kamu
tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allâh ketika
menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allâh telah menjelaskan kepada kamu apa
yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. Dan
sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang
lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah
yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas. [Al-An’âm/6: 119]
Imam Ibnu
Katsir rahimahullah berkata, “Ini adalah pembolehan dari Allâh Subhanahu wa
Ta’ala kepada para hamba-Nya, orang-orang Mukmin untuk memakan
sembelihan-sembelihan yang dilakukan dengan menyebut nama Allâh Azza wa Jalla .
Yang terfahami (dari ayat ini) yaitu tidak boleh memakan semua sembelihan yang
dilakukan dengan tanpa menyebut nama Allâh Azza wa Jalla , sebagaimana
orang-orang kafir yang musyrik membolehkan mengkonsumsi bangkai dan semua
sembelihan (yang dipersembahkan-red) untuk berhala (punden), atau lainnya.
Kemudian
Allâh Azza wa Jalla mendorong para hamba-Nya untuk mengkonsumsi
sembelihan-sembelihan yang dilakukan dengan menyebut nama Allâh Azza wa Jalla .
Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang
artinya, ‘Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang
disebutkan nama Allâh ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allâh Azza wa
Jalla telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan atasmu, kecuali apa
yang terpaksa kamu memakannya’. Yaitu kecuali dalam keadaan darurat, maka
ketika itu dibolehkan bagi kamu (untuk mengkonsumsi) apa yang kamu dapatkan.
Kemudian
Allâh Azza wa Jalla menjelaskan kebodohan orang-orang musyrik dalam pendapat
mereka yang rusak tersebut, yaitu berupa penyataan yang membolehkan memakan
bangkai dan sembelihan-sembelihan yang dilakukan dengan menyebut nama selain
nama Allâh Azza wa Jalla . Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, ‘Dan
sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang
lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Rabbmu, Dia-lah
yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas’. Yaitu: Dia yang lebih
mengetahui terhadap perbuatan mereka yang melampaui batas, kedustaan mereka,
dan kebohongan mereka.” [Tafsîr Ibnu Katsir, 3/323]
Termasuk
mengikuti hawa nafsu adalah orang yang menolak syari’at setelah penjelasan
datang kepadanya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
فَإِنْ لَمْ
يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ ۚ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى
مِنَ اللَّهِ ۚ إِنَّ
اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Maka jika
mereka tidak menjawab (tantanganmu) ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka
hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat
daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari
Allâh sedikitpun. Sesungguhnya Allâh tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
yang zhalim. [Al-Qashshash/28: 50]
Allâh Azza wa
Jalla juga berfirman:
قُلْ
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعُوا أَهْوَاءَ قَوْمٍ قَدْ ضَلُّوا مِنْ قَبْلُ وَأَضَلُّوا كَثِيرًا وَضَلُّوا عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ
Katakanlah,
“Hai Ahli Kitab! Janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara
tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang
yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah
menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus.”
[Al-Mâidah/5: 77]
Syaikhul
Islam rahimahullah berkata, “Barangsiapa mengikuti hawa nafsu manusia setelah
mereka mengetahui agama Islam yang Allâh amanahkan kepada Rasul-Nya untuk
membawa agama itu dan juga setelah mengetahui petunjuk Allâh yang telah
dijelasakan kepada para hamba-Nya, berarti dia berada dalam kedudukan ini
(yaitu sebagai pengikut hawa nafsu-pen). Oleh karena itu para Salaf menamakan
ahli bid’ah dan orang-orang yang berpecah-belah, orang-orang yang menyelisihi
al-Kitab (al-Qur’an) dan as-Sunnah (al-Hadits) sebagai ahlul ahwa’ (orang-orang
yang mengikuti hawa nafsu). Karena mereka menerima apa yang mereka sukai dan
menolak apa yang mereka benci dengan dasar hawa nafsu (kesenangan semata-pen),
tanpa petunjuk dari Allâh Azza wa Jalla ”. [Majmû’ Fatâwâ, 4/190]
BAHAYA
MENGIKUTI HAWA NAFSU
Orang yang
mengikuti hawa nafsu tidak akan mementingkan agamanya dan tidak mendahulukan
ridha Allâh dan Rasul-Nya. Dia akan selalu menjadikan hawa nafsu menjadi tolok
ukurnya.
Syaikhul
Islam rahimahullah berkata, “Fondasi agama (Islam) adalah mencintai karena
Allâh dan membenci karena Allâh, mendukung karena Allâh dan menjauhi karena
Allâh, beribadah karena Allâh, memohon pertolongan kepada Allâh, takut kepada
Allâh, berharap kepada Allâh, memberi karena Allâh, dan menghalangi karena
Allâh. Ini hanya dapat dilakukan dengan mengikuti Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Karena perintah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah perintah Allâh Azza wa Jalla , larangannya adalah larangan Allâh
Subhanahu wa Ta’ala , memusuhinya berarti memusuhi Allâh, mentaatinya sama
dengan mentaati Allâh dan mendurhakainya sama dengan mendurhakai Allâh Azza wa
Jalla .
Bahkan orang
yang mengikuti hawa nafsunya telah dibuat buta dan tuli oleh hawa nafsunya.
Sehingga dia tidak bisa memperhatikan dan melaksanakan apa yang menjadi hak
Allâh dan Rasul-Nya dalam hal itu, dan dia tidak mencarinya. Dia tidak ridha
karena ridha Allâh dan Rasul-Nya, dia tidak marah karena kemarahan Allâh dan
Rasul-Nya. Tetapi dia ridha jika mendapatkan apa yang diridhai oleh hawa
nafsunya, dan marah jika mendapatkan apa yang membuat hawa nafsunya marah”.
[Minhajus Sunnah an-Nabawiyah, 5/255-256]
Dengan
demikian maka mengikuti hawa nafsu akan menyeret pelaku kepada kesesatan dan
kerusakan. Sebab timbulnya bid’ah adalah hawa nafsu, sebagaimana dikatakan oleh
Syaikhul Islam, “Permulaan bid’ah adalah mencela Sunnah (ajaran Nabi) dengan
dasar persangkaan dan hawa nafsu (sebagaimana bibit kemunculan golongan
Khawarij-pen), sebagaimana Iblis mencela perintah Allâh (saat diperintahkan
sujud kepada Adam) dengan fikirannya dan hawa nafsunya”. [Majmû’ al-Fatâwâ,
3/350]
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga sudah mengingatkan bahwa mengikuti hawa
nafsu akan membawa kehancuran. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ثَلَاثٌ مُهْلِكَاتٌ وَ ثَلَاثٌ مُنْجِيَاتٌ فَأَمَّا ثَلَاثٌ مُهْلِكَاتٌ: شُحٌّ مُطَاعٌ وَ هَوًى
مُتَّبَعٌ وَإِعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ
و ثَلَاثٌ مُنْجِيَاتٌ : خَشْيَةُ اللَّهِ فِي السِّرِّ والعلانيةِ وَالْقَصْدُ فِي الْفَقْرِ وَالْغِنَى وَالْعَدْلُ فِي الْغَضَبِ وَالرِّضَا
Tiga perkara
yang membinasakan dan tiga perkara yang menyelamatkan.
Adapun tiga
perkara yang membinasakan adalah: kebakhilan dan kerakusan yang ditaati, hawa
nafsu yang diikuti, dan seseorang yang
membanggakan diri sendiri.
Sedangkan
tiga perkara yang menyelamatkan adalah takut kepada Allâh di waktu sendirian
dan dilihat orang banyak, sederhana di waktu kekurangan dan kecukupan, dan
(berkata/berbuat) adil di waktu marah dan ridha.
[Hadits ini
diriwayatkan dari Sahabat Anas, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Abdullah bin Abi
Aufa, dan Ibnu Umar g . Hadits ini dinilai sebagai hadits hasan oleh syaikh
al-Albani di dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahihah, no. 1802 karena banyak
jalur periwayatannya]
Demikian juga
bahaya mengikuti hawa nafsu adalah mendatangkan kesusahan dan kesempitan
hati. Syaikhul Islam berkata,
“Barangsiapa mengikuti hawa nafsunya, seperti mencari kepemimpinan dan
ketinggian (dunia-pen), keterikatan hati dengan bentuk-bentuk keindahan
(kecantikan, ketampanan, dan lain-lain-pen), atau (usaha) mengumpulkan harta,
di tengah usahanya untuk mendapatkan hal itu dia akan menemui rasa susah,
sedih, sakit dan sempit hati, yang tidak
bisa diungkapkan. Dan kemungkinan hatinya tidak mudah untuk meninggalkan
keinginannya, dan dia tidak mendapatkan apa yang menggembirakannya. Bahkan dia
selalu berada di dalam ketakutan dan kesedihan yang terus menerus. Jika dia
mencari sesuatu yang dia sukai, maka sebelum dia mendapatkannya, dia selalu
sedih dan perih karena belum mendapatkannya. Jika dia sudah mendapatkannya,
maka dia takut kehilangan atau ditinggalkan (sesuatu yang dia sukai itu)
[Majmû’ al-Fatâwâ, 10/651]
MENUNDUKKAN
HAWA NAFSU
Maka untuk
meraih keselamatan, orang yang mengikuti hawa nafsu harus menerapi dirinya
dengan rasa takut kepada Allâh Azza wa Jalla sehingga akan menghentikannya dari
mengikuti hawa nafsunya. Demikian juga perlu diterapi dengan ilmu dan dzikir.
Dengan keduanya maka hawa nafsu akan terpental. Jika rasa takut kepada Allâh
Azza wa Jalla sudah tertanam di dalam hati, maka hati akan bisa memahami dan
melihat kebenaran sebagaimana mata yang melihat benda-benda dengan sinar terang
matahari.
Allâh Azza wa
Jalla berfirman:
وَأَمَّا مَنْ
خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ ﴿٤٠﴾ فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ
Dan adapun
orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari
keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya).
[An-Nazi’at/79: 40-41]
Semoga Allâh
selalu membimbing hati kita sehingga sellau mampu menundukkan hawa nafsu dengan
sebaik-baiknya. Hanya Allâh tempat memohon pertolongan.
[Disalin dari
majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XIX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183
Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647,
081575792961, Redaksi 08122589079]
Sumber:
https://almanhaj.or.id/6627-jangan-mengikuti-hawa-nafsu.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar